Selasa, 17 Mei 2011

Term Of Reference (TOR)
A. Abstraksi
Masa lalu memberi nostalgia dan buah rindu
Masa kini adalah kepastian dan sengkarut problem persoalan
Masa depan menunjukkan tujuan dan memberi harapan

Hanya manusia yang berkeyakinan
sadar dan kreatif yang mampu memberi makna
Dan hadir di setiap kesempatan yang dibutuhkan
pada diri dan sejarahnya
Otto Sukatno CR, 2005

* * *

Jangan bertanya masa lalu jika hanya akan teringat akan penyesalan
Jangan bertanya masa depan, jika hanya akan menyebabkan frustasi
dan tak punya harapan

Rentangkan langit imajinasimu sejauh engkau mampu
Di situ cakrawala pandang terbentang dan kepicikan hilang

* * *

Kita adalah pewaris Sejarah dan Peradaban yang besar
Hanya saja generasi negeri ini
Seringkali lebih suka mengkerdilkan dirinya sendiri


Hadirnya buku Mata Air Peradaban yang ditulis oleh Bupati Wonosobo H.A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR, beserta prolognya yang disampaikan oleh beliau Sang Guru Bangsa sebelum beliau meninggalkan berjuta falsafah bagi bangsa Indonesia yaitu Almarhum Gus Dur, dan sejaraan besar Indonesia Agus Sunyoto dalam Epilognya yang menutup persembahan Mata Air Peradaban ini, buku yang di terbitkan oleh di tengah-tengah masyarakat merupakan penyegaran dan formula yang sangat menarik untuk di kaji oleh semua kalangan, baik intelektual, pemerintah, akademisi, politisi, budayawan bahkan orang awam pun patut untuk mengkajinya. Banyak hal-hal yang tak pernah di ketahui sebelumnya dari sisi sejarah khususnya sejarah peradaban besar yang pernah terbangun di kota kecil, dingin didaerah antara dua gunung besar Sindoro dan Sumbing yang terletak di propinsi Jawa Tengah yaitu Wonosobo. Sebuah sejarah peradaban dan budaya yang menjadi tonggak awal bagi sejarah Jawa pada khususnya dan juga sejarah Nusantara pada umumnya.

Kenapa hal ini menjadi penting untuk kita pelajari dan maknai?, sebagai mana lampiran awal diatas yang dituliskan oleh Otto Sukatno tersirat pesan yang sangat sacral bagi generasi penerus peradaban besar yaitu harus adanya kesadaran akan sejarah masa lalu tetapi bukan untuk kita bernostalgia akan kejayaanya tetapi untuk menjadi dan membangun sebuah kesadaran akan nilai dan harapan bagi kehidupan masa kini dengan segala realitasnya dan juga harapan terbaik untuk menjadikan masa depan lebih baik dan berkualitas. baik buruk (proses) masa lalu akan memberi pengaruh pada bentuk dan kwalitas kehidupan (kita) masa kini. Itulah sebabnya, sejarah perlu dituliskan. Bukan untuk mengungkit “borok-borok” masa lalu, sebaliknya untuk menyunting “mutiara-mutiara kehidupan” yang pernah dicapai atau dipersembahkan oleh masa lalu pendahulu kita , yang semuanya akan saudara temukan dalam bait-bait buku Mata Air Perdaban ini.


Sebuah buku yang dituliskan denan harapan dan karena adanya kesadaran bahwa kehidupan ini dirasa sudah amat sangat kering dengan sentuhan-sentuhan nilai-nilai ideal dan falsafi, ini yang terkadang muncul dalam benak siapa saja hidup dan kehidupan dewasa ini sudah sangat kering dan kosongdari kebermaknaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dapat terbaca dari hadirnya buku Mata Air Peradaban sebuah harapan dan tujuan yang penulis sisipkan yaitu untuk menggali, menghadirkan dan memberi sentuhan ruh (intisari) dan memberi nilai bagi hidup kehidupan hari ini. Sehingga kita menjadi sadar akan kemana langkah kaki hendak kita ayunkan demi idealitas tujuan di hari masa depan itu.
Di awali dengan sebuah sentuhan sejarah yang lahir di sebuah bumi kahyangan di wonosobo yaitu Dieng sekitar 2000 tahun atau lebih yang lalu memberikan satu pengertian bahwa itu merupakan khasanah sejarah yang sudah tua yang menjadikan banyaknya peradaban kerajaan-kerajaan dan wangsa-wangsa yang berkuasa di tanah Jawa maupun Nusantara. Berawal dari atau ketika orang-orang Keling (India)—yang disimbolkan dalam diri Sang Hyang Jagadnata; sosok dewa, sekaligus diidentifikasi sebagai figure seorang brahmin; penguasa daerah (kerajaan) sekitar Jambudwipa (Himalaya)—yang karena satu dan lain hal, dimungkinkan karena serbuan para pengembara Hun dari padang rumput Eurasia serta sebaran pengaruh helenisasi dari Yunani dan Romawi, utamanya pengelanaan Iskandar Zulkarnain (Alexsander The Great), yang nota bene hingga sampai ke celah Kaibar—memindahkan kekuasaannya ke pulau Jawa. Yang disebut-sebut pertama dan utamanya di Pegunungan (Dataran Tinggi) Dieng. Dan sejak itu menjadikan Dieng sebagai pingkalingganing buwana (poros dunia) sebagaimana ungkapan Lombard .
Tokoh Sang Hyang Jagadnata, berikut menyusul tokoh Ajisaka—yang nota bene merupakan keturunannya—orang yang diidentifikasi sebagai tokoh yang memperkenalkan aksara (tulisan), yang kemudian dikenal sebagai Huruf Jawa, berikut menyusul adanya tertib peradaban kepada penduduk pribumi Jawa, keduanya diindentifikasi dan serta menjadi justifikasi histories- yuridis-preskriptif (normative) dan paradigmatik akan nilai-nilai simbolik terjadinya migrasi besar-besaran orang-orang Keling dan sekitarnya. Bahkan dimungkinkan juga dari Rumawi (Brusah dan Nadjran, yang berada di Turki Asia—dimana waktu itu berada di dalam cengkeraman dan pengaruh peradaban (orang-orang) Rumawi dan Yunani (Helenis)—yang terjadi pada masa sebelum hingga awal-awal abad Pertama Masehi.
Di luar itu, dalam cerita massif dari Serat Niti Sastra Kawi, Serat Paramyoga dan Serat Pustaka Raja Purwa, yang di sesuaikan dengan Serat Juz Al Gubet, serta Serat Miladuniren yang beredar di Turki Asia pada waktu itu, kita mendapatkan informasi bahwa ketika pertama-tama Ajisaka datang ke Jawa, ia terlebih dahulu memilih untuk melakukan bertapa di Pegunungan Dieng (Ardi Hyang), yang sebelumnya telah diurabi (diberkahi) Sang Hyang Jagadnata, sebagai pingkalingganing buwana.
Menyusul Ajisaka memperkenalkan aksara dan tertib peradaban—terlepas dari efek-efek negatifnya mengenai kemungkinan adanya penjajahan bahkan pembumihangusan pribumi Jawa yang akan kami urai di bagian akhir bab kedua dalam buku ini – kita mencatat bahwa wangsa-wangsa Jawa awal muncul di daerah sekitar Dieng (Wonosobo sekarang). Yakni Kerajaan Kalingga , yang melahirkan tokoh legendaris Ratu Sima. Kalingga dimungkinkan wilayah kekuasaanya membentang di pesisir utara Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur--Jika melihat data histories bahwa Jawa Bagian Barat, waktu itu berada di bawah pengaruh Dinasty Tarumanegara--Selanjutnya disusul munculnya dynasty Sanjaya-Syailendra (Kerajaan Mataram Kuno/ Mataram I) yang menggantikan kerajaan Kalingga.
Bukti-bukti munculnya wangsa-wangsa—utamanya Sanjaya-Syailendra-- itu demikian kuat dan nyata. Yakni adanya beberapa prasasti dan candi-candi besar di Jawa yang sampai sekarang masih bisa kita lihat kemegahan dan keelokindahannya. Dieng, Borobudur, Prambanan, Kalasan, Baka, Gedong Sanga serta sederet ribuan nama candi kecil lainnya. Sementara candi-candi Dieng, yang diidentifikasi sebagai candi-candi paling awal di Jawa, terbukti memiliki pengaruh gaya arsitektural yang sangat kuat dengan gaya Gupta dan Calukya (India Selatan).
Hal itu hanya semakin membuktikan bagaimana posisi strategis Dieng dan Wonosobo umumnya, bagi peta dan konstelasi histories Jawa. Bahkan Nusantara. Bahkan dari Wonosobolah, sesungguhnya “mata air” peradaban Nusantara itu bersumber dan terus mengalir. Pasalnya wangsa Kalingga, Sanjaya-Syailendra, menjadi cikal bakal dan leluhur genealogis wangsa-wangsa yang muncul berikutnya, yang tumbuh di Jawa Timur. Yakni Kerajaan Dinaya, Kerajaan Kahuripan, berturut-turut hingga melahirkan kerajaan Jenggala (Singhasari) Panjalu (Kediri), sampai Majapahit, Wengker, Demak, Pajang hingga Cirebon, Mataram II (kota Gede, Plered dan Kartasura), hingga menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sementara dengan menyusutnya pengaruh Syailendra (Buddha), yang nota bene bermigrasi ke Sumatera--dalam hal ini Balaputra Dewa—meneruskan dan membangun Wangsa Sriwijaya. Bahkan di tangan Balaputra Dewa, Sriwijaya menemukan puncak kejayaannya .
Berbicara mengenai peradaban Dieng yang menjadikan besarnya sejarah peradaban di Wonosobo maka kita tidak bias melepaskan atau menghilangkan 3 (tiga) tokoh controversial yang menjadi trilogy pendiri yang telah “babad wana” “babad alas” yang kemudian membuka pemukiman yang kemudian kita diami sekarang ini Wonosobo, yaitu Kyai Karim, Kyai Walik dan Tumenggung Kaladete.
Melihat asal kata Wonosobo yaitu dirujukkan dari kata “wono” yang berarti hutan dan “sobo” yang berarti datang atau mendatangi. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi geografis, serta mengingatkan kita pada kisah (historis) trilogi tokoh Wonosobo (Kyai Karim, Kyai Walik dan Tumenggung Kaladete). Atau mengingatkan kisah pada Ki Gede Wanasaba--sebagaimana dalam Serat Walisana—tokoh seorang wali yang ditugaskan untuk berdakwah di wilayah hutan (Wonosobo).(baca BAB I)
Disajikanya bagaimana historisitas dari mulai dieng “Pingkalingganing bhuwana” (Pusat Dunia), yang menurut versi sejarah Otto Sukatno dimana Sang Hyang Jagad Nata memindahkan “Pingkalingganing bhuwana” dari gunung Meru ke pegunungan Dieng, berbagai fakta peninggalan sejarah berupa artefak dan candi-candi, mitos masyarakat juga tak ketinggalan terselip dalam buku ini, lalu adanya “babad wono” oleh ketiga pendiri kota wonosobo, kemudian dengan berbagai dinamika perkembangan kerajaan-kerajaan besar nusantara beserta pemimpin-pemimpin di Wonosobo mulai dari Adipati Sidokolo di Leksono, di Selomanik ada Ki Tumenggung Kartawasesa, yang berturut-turut digantikan oleh Ki Tumenggung Wiraduta di Pecekelan (Kalilusi), Ki Tumenggung Djogone-goro di Ledok (Wonosobo Ledok = Plo¬bangan) yang memindahkan ke Selomerto lalu Setjonegoro dan sebagainya sampai saat ini.
Penggambaran Wonosobo pada massa penyebaran agama islam, akulturasi kebudayaan antara Hindhu dan Islam beserta tokoh-tokohnya, penjajahan colonial belanda, perjuangan rakyat Wonosobao dalam memperebut kemerdekaan dari penjajah, kondisi pasca kemerdekaan bahkan sampai kondisi saat ini tergambar jelas dan memberikan pemahaman nilai serta kebudayaan Wonosobo terlahir dari peradaban yang besar yang menjadi bagian yang tak bias terpisahkan dari sejarah Jawa, Indonesia bahkan Nusantara. Maka sudah saatnya masyarakat kita untuk melek sejarah dan nilai-nilai luhur sejarah besar bias kita transformasikan dalam ranah masa yang berbeda tetapi dengan substansi yang sama atau kurang lebih mendekati itu, maka Wonosobo tidak hanya sebagai mata air peradaban, tetapi juga sebagai sumber budaya Mataram Baru.
Dengan diterbitkanya buku ini dan adanya bedah buku yang diadakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Ahimsa UNSIQ, dengan nara sumber orang-orang hebat yaitu penulis buku ini Bupati Wonosobo H.A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR secara langsung kepada semua elemen masyarakat khususnya Wonosobo akan tersejukan oleh Mata Air bening dan hening peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kekosongan bisa terisi, dan kekeringan bisa tersirami. Kejayaan besar minimal kesadaran dan nilai-nilai humanism yang kuat bias bersemayam untuk membangun Wonosobo dan Indonesia pada umumnya. Amiin.


B. NAMA DAN TEMA
Kegiatan ini kemudian dinamakan “ BEDAH BUKU “MATA AIR PERADABAN”
Dengan mengambil tema “WONOSOBO ; DAUR KOSMIK, SEJARAH DAN MENTALITAS”


C. TUJUAN DAN TARGET KEGIATAN
Kegiatan ini di laksanakan untuk :
1. Tercapainya generasi penerus bangsa yang berkesadaran akan makna sejarah yang besar.
2. Menjadikan kebermaknaan akan hidup saat ini dan memiliki renstra yang jelas dan real dalam masa depan.
3. Terciptanya masyarakat yang melek sejarah.
4. Membangun Wonosobo pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
5. Menjawab kegelisahan dan problematika bangsa kekinian.


D. LANDASAN KEGIATAN
Kegiatan ini berlandaskan pada :
1. PANCASILA dan UUD 1945
2. AD/ART PMII
3. RAPAT koordinasi PENGURUS KOMISARIAT

E. SASARAN PESERTA KEGIATAN
Sasaran peserta dalam BEDAH BUKU “MATA AIR PERADABAN” ini antara lain :
1. Perwakilan setiap desa di wonosobo .
2. Perwakilan semua SKPD di Wonosobo .
3. Perwakilan organisasi Masyarakat dan mahasiswa di wonosobo.
4. Perwakilan OSIS SMA/sederajat di wonosobo.
5. Anggota PMII di Wonosobo.
6. Organisasi NU beserta banom-banomnya di wonosobo.
Target peserta keseluruhan adalah 1000 peserta.







F. WAKTU DAN TANGGAL
Acara ini di selengarakan pada
1. Hari : Kamis
2. Tangal : 19 maret 2011
3. Waktu : 08.00 WIB – Selesai
4. Tempat : Gedung SASANA ADIPURA WONOSOBO

Jadwal manual acara dalam bedah buku tersebut lebih terinci dalam lampiran 1.


G. NARA SUMBER
Nara sumber dalam bedah buku ini kita mengambil penulis buku Mata Air Peradaban langsung dan juga tokoh agama yang memiliki kompetensi berhubungan dengan tema yang disebutkan diatas, yaitu antara lain :
1. Drs. H.a.kholiq Arif (Penulis Buku dan Bupati Wonosobo)
2. Otto Sukatno cr (Penulis Buku Jogjakarta)
3. Gus Muwafiq (Tokoh Agama Jogjakarta)

H. ANGGARAN KEGIATAN
Dalam Kegiatan ini dana dana yang di butuhkan dalam penunjang kegiatan dapat di lihat pada lampiran 2.


I. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini di selengarakan oleh panitia yang di susun dalam Rapat Mingguan Komisariat.
Adapun secara lengkap kepanitiaan tersebut pada Lampiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar